Hidup Bahagia Tanpa Daging, Tapi Akankah Tubuh Merintih?

Gloeater – Dewasa ini, banyak gerakan yang lahir dari kesedihan akan kondisi yang memprihatinkan di sekitar kita. Gerakan-gerakan tersebut merupakan ekspresi empati manusia terhadap lingkungan sekitarnya. Ada upaya untuk menjaga flora agar tetap hidup dan mendapatkan tempat yang layak, juga ada perhatian terhadap keberlangsungan makhluk hidup hewani yang biasanya menjadi bagian dari menu sehari-hari.

Di tengah kerisauan itu, muncullah veganisme sebagai respons terhadap keprihatinan atas perlakuan terhadap hewan. Bagi mereka yang memilih gaya hidup vegan, hak hidup adalah hak yang diperlukan bagi semua makhluk, termasuk yang tidak manusia, yang berbagi tempat tinggal di planet bumi ini. 

Menjelma menjadi gaya hidup dan merebak di tengah tengah era modern yang menuhankan daging sebagai kebutuhan. 

Namun, apakah dengan tidak memakan daging hewan dan memilih untuk hanya mengkonsumsi apa apa yang tumbuh dari alam, tubuh tidak akan pernah merintih?

Kebutuhan Seorang Manusia

Berbicara tentang nutrisi, Melliana, seorang Ahli Gizi, menggarisbawahi lima kebutuhan dasar yang diperlukan manusia untuk menjalani hidup yang sehat. Karbohidrat, lemak, protein, vitamin, dan mineral merupakan komponen yang krusial untuk memastikan tubuh berfungsi dengan optimal.

Karbohidrat, yang diperoleh dari sumber seperti nasi, kentang, atau jagung, memberikan energi penting untuk aktivitas sehari-hari. Vitamin dan mineral, yang didapat dari buah-buahan dan air putih, mendukung fungsi tubuh dan mempertahankan kesehatan. Lemak dan protein, yang umumnya ditemukan dalam daging hewan, memainkan peran vital dalam membangun jaringan tubuh, memproduksi hormon, serta menjaga fungsi enzim dalam tubuh.

Ironisnya, Indonesia, meskipun kaya akan sumber daya alam, menghadapi tantangan serius dalam hal gizi. Sebagai negara dengan sumber daya alam melimpah, Indonesia menempati peringkat pertama sebagai negara kurang gizi di Asia Tenggara. Data dari FAO pada tahun 2022 menunjukkan bahwa 17,7 juta penduduk Indonesia masih mengalami kekurangan gizi yang serius.

FAO menjelaskan bahwa kekurangan gizi terjadi ketika konsumsi makanan seseorang tidak memenuhi kebutuhan energi untuk hidup sehat. Ini tidak hanya merupakan statistik, tetapi juga mencerminkan ketidakseimbangan yang menyedihkan antara sumber daya alam yang melimpah dan kekurangan gizi yang melanda sebagian besar penduduk.

Lebih lanjut, data juga menunjukkan bahwa konsumsi daging sapi dan domba per kapita di Indonesia berada di bawah rata-rata dunia. Kekurangan ini memberikan dampak signifikan terhadap ketersediaan protein, yang sangat penting untuk fungsi enzim, hormon, dan juga untuk kesehatan otot.

Melliana menegaskan bahwa protein tidak hanya diperlukan untuk pembentukan jaringan otot, tetapi juga untuk menjaga kinerja enzim dan hormon dalam tubuh. Kekurangan protein dapat berdampak serius terhadap kesehatan dan kinerja tubuh secara keseluruhan.

 Di tengah tantangan kekurangan gizi yang masih dihadapi Indonesia, semakin banyak individu yang mulai mempertimbangkan gaya hidup vegan. Veganisme menawarkan alternatif yang berkelanjutan dengan fokus pada sumber protein nabati yang dapat memenuhi kebutuhan gizi tanpa harus mengandalkan produk hewani. 

Perubahan ini tidak hanya mempengaruhi pola makan individu tetapi juga memiliki dampak potensial terhadap kesehatan masyarakat secara keseluruhan. Namun apakah menjadi vegan seberbahaya itu untuk nutrisi?

Apa itu Vegan?

Sebelum melanjutkan artikel ini lebih dalam mari mengenali apa itu vegan dan veganisme. 

Veganisme adalah gaya hidup di mana seseorang menghindari sepenuhnya konsumsi produk hewani, baik untuk makanan maupun produk lainnya, serta menentang penggunaan hewan untuk kepentingan manusia. 

Sejarah veganisme dimulai dengan pembentukan The Vegan Society pada tahun 1944 oleh Donald Watson, seorang aktivis hak-hak hewan dari Inggris. Istilah “vegan” pertama kali diperkenalkan oleh Watson untuk menggambarkan orang-orang yang tidak hanya memilih untuk tidak mengkonsumsi daging atau produk hewani, tetapi juga untuk mengecualikan penggunaan produk-produk yang melibatkan eksploitasi hewan dalam segala bentuknya.

Sebelumnya, konsep menghindari konsumsi daging dan produk hewani sudah dikenal dalam beberapa budaya kuno, terutama di India dan Mediterania Timur. Namun, gerakan modern veganisme muncul sebagai tanggapan terhadap industri peternakan besar-besaran dan penggunaan hewan untuk keperluan komersial yang semakin berkembang pada abad ke-20.

Veganisme modern berkembang seiring dengan semakin meningkatnya kesadaran akan kesejahteraan hewan, dampak lingkungan dari industri peternakan, serta keinginan untuk menerapkan gaya hidup yang lebih berkelanjutan. Veganisme tidak hanya mencakup aspek diet, tetapi juga meliputi penggunaan produk-produk kosmetik, pakaian, dan barang-barang lain yang tidak mengandung bahan berasal dari hewan atau diuji pada hewan.

Gerakan ini telah mempengaruhi banyak aspek masyarakat modern, termasuk opsi makanan di restoran, penawaran produk di supermarket, dan kebijakan lingkungan di berbagai negara. Veganisme bukan hanya sebuah tren diet, tetapi juga sebuah gerakan sosial yang terus berkembang dengan tujuan mempromosikan keadilan bagi hewan, kesehatan manusia, dan keberlanjutan lingkungan.

Veganisme modern tidak hanya didorong oleh kepedulian terhadap kesejahteraan hewan dan lingkungan, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti nilai-nilai agama. Beberapa agama memiliki ajaran yang mengajarkan untuk menghormati kehidupan hewan dan menjaga keseimbangan ekosistem, seperti konsep ahimsa dalam Hinduisme dan Buddhisme yang menekankan pentingnya tidak menyakiti makhluk hidup. 

Meskipun tidak ada kewajiban langsung dalam banyak agama untuk menjadi vegan, nilai-nilai etis terkait perlakuan terhadap hewan dan tanggung jawab atas lingkungan dapat mempengaruhi pilihan seseorang dalam mengadopsi gaya hidup vegan. Seiring dengan perkembangan pemahaman akan dampak industri peternakan terhadap lingkungan dan kesehatan global, banyak individu yang merasa terdorong untuk mengubah pola konsumsi mereka sebagai bagian dari tanggung jawab sosial dan moral mereka terhadap dunia di sekitar mereka.

Menjadi Vegan Akankah Tubuh Merintih?

Lalu, setelah setelah sobat glowy membaca kandungan yang dibutuhkan manusia dan apa itu veganisme. Sampailah kita pada pertanyaan menjadi vegan akankah tubuh merintih?

Meliana seorang ahli gizi, menegaskan bahwa menjadi vegan tidak serta merta membuat kita mengalami gizi buruk. Karena ada sebagian orang yang memang alergi, ataupun memang sesuai keyakinan agama mereka yang tidak boleh memakan daging hewani. 

Kabar baiknya adalah, menjadi vegan tidak serta merta akan membuat tubuh kita merintih karena kekurangan protein. Kandungan protein ada yang terdapat pada bukan hewani. Tempe diyakini mengandung protein.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You May Also Like